Sat. Jul 27th, 2024
Ayahku, guru besarku

TEMPUSDEI.ID (16/11/21)-Ayahku adalah mahaguru kehidupanku. Begitu kalimat yang selalu menggetarkan hatiku. Berlebihankah? Barangkali begitu untuk orang lain. Namun, itulah yang saya rasakan. Mengapa saya bisa sampai pada kesimpulan itu?

Pria itu bernama Stefanus Yiwa Ndaku Mbani, petani kelahiran Lambanapu, Sumba Timur, 4 November 1971. Teladan, kasih sayang, perhatian yang menyatu dalam seluruh hidupnya menyebabkan saya jatuh cinta padanya.

Ayah dan ibu pekerja keras

Ayah adalah “cinta pertama” saya. Ia seorang lelaki perkasa, “guru besar” yang mengajarkan arti  hidup, sekaligus cara menjalankannya.

Sungguh! Kesederhanaan, tanggung jawab dan didikannya yang keras membuat saya semakin jatuh cinta dengan sosok ini tegas tetapi murah dan tulus ini.

Ayah lahir dari keluarga yang sangat sederhana sehingga kehidupan kami bergulir dengan amat sederhana pula. Bahkan, ditindas dan diremehkan adalah pengalaman harian kami.

Sebagai anak sulung dari 8 bersaudara, ayah mengalami pendidikan yang sangat keras dari Kakek dan Nenek. Tentu saja, hal ini dimaksudkan agar ayah  bisa menjadi contoh bagi adik-adiknya. Sebagai keluarga petani yang hidup di zaman penjajahan dengan berbagai tekanan kehidupan, Kakek dan Nenek menanamkan pembelajaran hidup dengan cara yang keras kepada anak-anak mereka. Dari pengalaman itulah, ayah saya lalu menjelma menjadi pekerja keras, gigih dan disiplin.

Karena itulah, di keluarga kami berlaku “aturan” anak yang tidak patuh dan tidak mau bekerja, tidak boleh makan. Dan hal ini benar-benar diterapkan. Di keluarga kami, makanan yang didapatkan dari cucuran keringat harus sungguh dihargai. Tidak ada yang membuang-buang makanan.

Perjuangan sudah mulai berbuah.

Menyesal Tidak Sekolah

Ayah sempat bersekolah, tetapi hanya sampai kelas III SMP. Ayah memilih berhenti sekolah untuk membantu orang tua membajak sawah dan mengurus ternak. Hewan yang dipiara bukan untuk membaiayai sekolah anak, tetapi untuk membelis wanita sebagai istri. Ayah berterus terang bahwa Kakek dan Nenek belum memiliki kesadaran yang cukup tentang pentingnta pendidikan.

Pada usia 22 tahun ayah menikah dengan Ibu yang berusia 20 tahun waktu itu. Sejumlah hewan belis bisa ia tanggung sendiri, di samping bantuan keluarga yang lain.

Ayah saya adalah pekerja keras dan tidak mudah menyerah. Prinsip hidupnya adalah bekerja keras dan jujur. Hal itu juga yang ditanamkan kepada  kami tujuh bersaudara.

Karena sifat kerja keras dan ulet, ayah terpilih sebagai Ketua Kelompok Tani Marangga Pakabubul sampai saat ini. Ayah juga menjadi ketua RT secara berturut-turut, aktif di gereja sebagai ketua lingkungan, menjadi motivator dan leader untuk anak-anak muda yang belajar menjadi “petani milenial”.

Selain itu, ayah juga pernah mendapat  penghargaan sebagai jaura  2 dalam Waingapu Go Green and Clean kategori penghijauan.

Penghargaan tersebut ia peroleh karena menanam 5 ribu pohon umur panjang seperti mahoni, jati, cendana , dan lain-lain. Pohon-pohon itu ditanam dan disiram dengan alat-alat seadanya. Bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan merawat pohon-pohon itu, apalagi pada musim kemarau panjang.  Semua ini ia lakukan dengan gembira agar menjadi warisan berharga bagi anak cucunya.

Kami sangat terbiasa makan “apa adanya”. Kami dilarang keras untuk mengeluh. Jika beras habis, makanan kami adalah ubi dari kebun sendiri.

Untuk lauk, memancing atau menangkap ikan dengan panah di sungai yang tidak jauh dari rumah.

Demi ketersediaan beras dan ketercukupan kebutuhan sekolah, ayah dan ibu menjual hasil kebun ke pasar, meski harus berjuang melawan hawa dingin  udara subuh.

Ayah selalu menekankan kami untuk bekerja keras jika ingin mendapatkan apa pun dalam hidup, termasuk makanan untuk sehari-hari.

Ayah selalu mengulang-ulangi  betapa tidak beruntungnya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Dia pun tidak mau kami mengalami hal yang sama. Karena itu, ia mengingatkan untuk kerja keras, jujur dan bertanggungjawab.

Ayah tidak mau kegagalannya dalam dunia pendidikan terulang kembali kepada kami anak-anaknya.  Karena itulah, dalam segala keterbatasannya, ayah berjuang menyekolahkan saya dan kelima saudara saya. Ia pun berjanji akan berjuang lebih gigih agar impiannya tercapai.

Ayah keras dalam mendidik. Namun, ayah selalu menegaskan bahwa itu adalah rotan kasih yang akan berukti kelak.

Bukti perjuangannya dalam mendidik kami benar-benar terasa. Adik saya, Erwin, dinyatakan lolos seleksi TNI AD dengan predikat lulusan terbaik pertama se-NTT. Sungguh! Hal itu menjadi kebanggaan terbesar dalam hidup ayah saya. Tidak salah aku menyebutnya “guru besar” kehidupan.

MAYA TAKANJANJI, Mahasiswi STKIP Weetebula, peserta pelatihan jurnalistik.

Related Post

One thought on “Ayahku, Guru Besar Kehidupanku”

Leave a Reply