Sat. Jul 27th, 2024

Akhirnya Kerinduan Ibu Lusia Laun Dibaptis jadi Katolik Terwujud pada Usia 71 Tahun

Pastor Rantinus Manalu sedang membaptis Ibu Lusia
Pastor Rantinus tengah mengurapi Ibu Lusia

Sharing Pastoral Romo Rantinus Manalu, Pr dari Paroki Muara Taweh, Keuskupan Palangkaraya

 

MUARA TAWEH, TEMPUSDEI.ID (10 JUNI 2021)

Allah dengan berbagai cara dan segala keunikan-Nya memanggil orang menjadi milik-Nya. Hanya perlu keterbukaan hati untuk memahami dan menerima-Nya. Dan para pelayan bagi-Nya siap sedia menjadi alat di tangan-Nya.

Pagi ini, Rabu (9/6/21), saya mendapat pengalaman yang sangat indah dalam karya pastoral sebagai seorang imam di Paroki Muara Teweh, Keuskupan Palangkaraya.

Ibu Lusia Laun (71 thn) sudah lama punya keinginan menjadi seorang Katolik. Kini usianya sudah seperti matahari senja. Ketika masih, sehat ia pernah mengemukakan kerinduannya untuk menjadi Katolik kepada anak-anak dan tetangganya. Namun  akhirnya dipendamnya, karena orang yang mendengarkan keinginannya itu mengatakan, “Mana bisa ibu jadi Katolik karena menjadi umat Katolik harus pintar bernyanyi.” Karena ia merasa tidak bisa bernyanyi, ia pun memendam keinginannya itu.

Beberapa minggu terakhir ini, ibu itu sakit. Di tengah derita sakit itu, ia teringat kembali kerinduannya untuk menjadi penganut Katolik. Apalagi dua bulan lalu ia melihat cucunya dikubur secara Katolik. Ia katakan, “Aku ingin dikubur seperti itu oleh seorang pastor.” Menantunya, seorang Katolik, ayah dari cucunya yang dikubur itu menyimpan ungkapan harapan itu dalam hati.

Kemarin, Selasa (8/5), kesehatan ibu itu semakin menurun. Anak-anak dan cucu yang dekat dengan tempat tinggal ibu Lusia, berkumpul. Pada kesempatan itu, ia kembali mengemukakan kerinduannya untuk menjadi penganut Katolik.

Sehabis pertemuan keluarga, menantunya menelpon saya, sudah agak larut malam. Ia mengatakan, ibu mertuanya sakit dan minta manjadi penganut Katolik. “Apa yang bisa dibuat, pastor?” tanyanya.

Saya menanyakan agamanya sebelumnya? Apa memang dia pernah mengemukakan keinginannya kepada anak-anak dan bagaimana sikap keluarga menanggapi keinginannya itu? Ah, pertanyaan saya terlalu banyak. Akhirnya kami sepakat, saya akan berkunjung ke rumah ibu itu besok paginya. Mendengar kesiapsediaan saya berkunjung, menantunya sangat senang.

Besok harinya, saya ke rumah ibu itu di Stasi Hajak Dalam, Kecamatan Teweh Baru. Sekitar 20 km dari pusat Paroki, Muara Teweh. Saya melihat ibu itu duduk. Kakinya terjulur. Ia lemah. Kaki bengkak. Sebagian pahanya biru kehitaman dan merah gelap. “Ibu sakit apa?” tanyaku. Putrinya yang merawatnya menjawab datar, “Kemungkinan ginjal dan jantung.”

Ibu Lusia masih lancar berkomunikasi, meski dengan suara lemah. Pendengaran sudah sangat berkurang. Saya bertanya mengenai anak-anak ibu itu, ada berapa, tinggal di mana, dan seterusnya. Luar biasa! Keluarga ini adalah keluarga yang hidup dengan toleransi tinggi dan “pluralis”. Anak-anaknya ada yang pemeluk Kristen Protestan, ada yang Katolik dan ada yang Islam. Ibu itu sendiri hingga sebelum dibaptis adalah seorang pemeluk agama leluhur Dayak, Hindu Keharingan.

Saya mulai menyelidiki, apakah memang benar ibu itu pernah mengajukan permintaan untuk menjadi Katolik dari dirinya sendiri. Akhirnya, anak-anak menyuruh ibu itu sendiri menjawab. “Dari dulu saya mau,” katanya singkat. Saya menanyakan reaksi dan sikap anak-anaknya atas permintaan ibu mereka. Mereka mendukung. “Kalau itu permintaannya dan pastor bersedia membaptis, demi kebahagiaannya sebelum dipanggil Tuhan,” kami dukung, begitu salah seorang anaknya menjawab.

Saya menjelaskan sedikit kepada ibu itu apa arti menjadi Umat beriman dalam Gereja Katolik. Saya sadar tidak banyak lagi dari keterangan saya itu yang bisa dimengerti ibu itu. Saya lebih melihat kerinduan ibu ini menjadi alasan yang menguatkan hati saya, ibu itu layak dibaptis agar menjadi anggota resmi Gereja Katolik.

Saya mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk memulai Ibadah singkat yang mengiringi acara pembaptisan.

Keseharian Pastor Rantinus dalam pelayanan pastoralnya

Ibu Lusia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Kadang ia harus dibantu untuk bisa menjawab dengan benar. Akhirnya, dalam iman yang teguh saya serahkan seluruhnya pada penyelenggaraan Ilahi.

Saya sebagai pelayan bagi-Nya, mengucapkan, “LUSIA LAUN, SAYA MEMBAPTIS ENGKAU DALAM NAMA BAPA DAN PUTERA DAN ROH KUDUS. AMIN”.

Mata saya basah, membuat pandangan mataku agak kabur. Saya hanyut oleh rasa haru. Bulu kuduk dan roma merinding.

Betapa Allah mahakuasa, dengan berbagai cara Ia bisa memanggil orang datang kepada-Nya dan kepada siapa saja, Ia bisa membukakan pintu tobat dan percaya pada-Nya.

Aku bayangkan betapa lamanya ibu Lusia memendam kerinduannya akan peristiwa yang dia alami hari ini. Dia seorang ibu yang luar biasa, memberi kebebasan kepada semua anaknya untuk hidup sesuai dengan iman, keyakinan, agama dan kepercayaan masing-masing. Sekalipun berbeda, ia tetap merangkul semua anaknya dalam kasihnya tanpa membeda-bedakan. Sementara itu, dia sendiri memiliki pilihan yang juga tidak perlu dihalangi oleh anak-anaknya.

Selesai Ibadah, kami disuguhi makanan dan minuman ringan. Saya melihat ibu yang tadi diperkenalkan sebagai penganut Islam mengantar kepada kami makan dan minuman ringan. Rupanya dari tadi, setelah pertanyaan-pertanyaan saya kepada mereka selesai, ia langsung ke dapur menyiapkan suguhan itu.

Ibu itu dengan banyak senyum melayani kami. Ketika kami mau bergegas pulang, ia menyalami saya. “Terimakasih, Pastor,” katanya dengan wajah yang ramah. Sebenarnya, karena alasan Korona, saya agak menahan diri menyodorkan tangan untuk bersalaman. Tapi saya melihat uluran tangan ibu itu sangat disertai dengan kegembiraan atas apa yang dialami ibu mereka, saya pun dengan sigap mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya dengan erat, sebagai simbol kehangatan batin saya.

Ibu Lusia Laun, kerinduanmu telah terwujud. Terimakasih atas kekuatan batinmu menunggu sekian lama untuk disentuh oleh Sang Kasih. Dan sesungguhnya engkau telah lama menebarkan kasih itu kepada anak-anakmu. Semoga ibu tetap sehat dan kuat dalam iman dan pengharapan. (tD)

Related Post

One thought on “Akhirnya Kerinduan Ibu Lusia Laun Dibaptis jadi Katolik Terwujud pada Usia 71 Tahun”

Leave a Reply