Sun. Oct 13th, 2024
Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

DAYA TAHAN

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Lance Armstrong adalah pembalap sepeda terkenal Amerika Serikat. Dia pernah menderita kanker tapi berjuang sedemikian rupa mengalahkan kanker sehingga bisa memenangkan balapan sepeda terkenal di dunia, Tour de France, bahkan sampai tujuh kali.

Selain Armstrong, ada juga pembalap sepeda terkenal lain bernama Tyler Hamilton. Pada tahun 2003, dalam seri balapan Tour de France, terjadi kecelakaan beruntun melibatkan 35 pembalap dan dia menderita patah tulang selangka. Jenis tulang macam ini sangat menyakitkan dan butuh waktu lama untuk sembuh. Banyak orang mengira dia akan berhenti dari balapan. Tapi hari berikutnya dia sudah berada di lintasan. Di luar semua perhitungan, dia berhasil menyelesaikan balapan ini. Total yang jarak yang harus ditempuh adalah 3.427 kilometer dalam waktu 22 hari.

Karena membalap dalam rasa sakit sedemikian rupa, tujuh giginya rusak karena terus meringis sambil menggertakkan gigi menahan sakit selama balapan. Hamilton menjelaskan bahwa dia dapat menahan rasa sakit demikan dengan cara fokus untuk menyelesaikan balapan setiap harinya.

Endurance atau daya tahan terhadap rasa sakit adalah kunci utama Yesus untuk melalui peristiwa jalan salibnya.

“Jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah”. (Yoh 12,24)

Peristiwa kematian atau mati itu sendiri pada dasarnya bukan masalah besar. Kalau orang sudah mati, ya selesailah sudah. Tidak ada rasa apa-apa lagi. Tetapi yang jadi masalah adalah proses menuju kematian. Proses yang singkat rasanya lebih baik dibandingkan dengan proses yang lama. Proses yang lama, yang diwarnai penderitaan, sesungguhnya ingin dihindari oleh banyak orang, tak terkecuali Yesus.

“Sekarang jiwaku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam dunia saat ini.” (Yoh 12,27)

Yesus tahu bahwa kematian melalui salib, bukan saja menyakitkan secara fisik tapi juga jiwanya, karena mati di salib adalah sebuah penghinaan untuk penjahat. Yesus bukan penjahat, namun harus menanggungnya karena itulah cara untuk menyelamatkan manusia. Yesus tidak mengelak dari proses kematian yang ada di depan mata-Nya karena Dia tahu Bapa di surga menghendakinya.

Pilihan dan keteguhan hati Yesus, bagaikan seorang yang bertahan untuk menyelesaikan sebuah balapan sepeda sampai finish. Dalam rasa sakit yang amat dalam, Dia terus memikul salib-Nya sampai puncak Golgota. Dia tidak sedang berusaha memenangkan sebuah medali atau penghargaan, tetapi Dia mau memenangkan jiwa kita dari kematian. Dia hendak mengambil kembali jiwa kita dari cengkeraman maut kepada hidup abadi.

Setiap orang mempunyai saat tersendiri di mana dia diuji daya tahannya untuk sebuah nilai luhur. Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, atau dengan kata lain sudah mati dari segala keinginan pribadi, biasanya akan lebih kuat bertahan. Dia yang akan sanggup mengayuh sepeda kehidupannya sampai ke garis finish, tak peduli rasa sakit selama perjalannya. Karena tujuannya hanya satu, sampai di garis finish sambil mengangkat tangan dengan gembira.

Kuncinya adalah fokus pada setiap langkah atau peristiwa saat itu.

Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT

Related Post

Leave a Reply