Sat. Dec 7th, 2024
KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus/Foto: TEMPO

TEMPUSDEI.ID (31/1/21)

Berbicara dalam zoominar bertema Merangkai Puisi Religius yang diselengarakan oleh Poetry Reading Society of Indonesia pada 30 Januari 2021, selain menjawab peserta seputar proses kreatifnya dalam berkarya, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, banyak menjawab pertanyaan lain.

Terhadap seorang peserta  yang menanyakan cara membangkitkan ketangguhan kebhinekaan di tengah-tengah bangsa ini, Gus Mus menekankan perlunya memperluas wawasan dan pengetahuan menyangkut kehidupan bersama.

Ia menunjuk contoh dari kehidupan rumah tangganya pada awal pernikahan dengan istrinya. “Kami menikah tanpa pacaran. Cinta baru tumbuh setelah menikah,” ujar Gus Mus.

Pada masa awal pernikahan itu, pernah istrinya menyiapkan masakan opor yang sangat kental, sampai menggunakan dua buah kelapa. Tentu saja hal ini dimaksudkan sang istri untuk menyenangkan hati suaminya. Namun apa yang terjadi? Gus Mus hanya mencicipi sedikit kuahnya lalu pergi.

Sang istri kecewa lalu mengadu kepada ibu mertuanya. Sang mertua mengatakan, “Untuk Gus Mus, cukup siapkan sambal, nasimu sebakul juga akan habis.” Lalu sang istri benar-benar menyiapkan sambal ketika menyiapkan makanan lagi. Dan benar! Gus Mus makan banyak.

Dengan cerita tersebut, Gus Mus mau menjelaskan bahwa masyarakat bangsa ini perlu saling mengenal dengan baik. Karena tidak saling kenal, akhirnya sering terjadi salah paham.

Gus Mus juga mengatakan bahwa lawan atau musuh bangsa ini adalah kebodohan, kurang pengetahuan. Dalam pendidikan kita lanjutnya, pelajaran-pelajaran agama yang ada di sekolah selalu bersifat teori. “Tuhan kurang dikenalkan kepada kita. Tuhan memang tidak menghendaki kita serakah, tapi siapa yang tahu kalau tidak diajarkan, juga dengan contoh? Banyak yang merasa beragama tapi tidak bertuhan,” katanya sambil membetulkan posisi kopiahnya.

Lanjutnya, bangsa ini juga tidak dibiasakan untuk berbeda dengan orang lain. “Kita terlalu terbiasa diseragamkan. Ini ajaran untuk menolak fitrah dari Tuhan. Kita akhirnya beda sedikit ngamuk, padahal negara kita ini didirikan oleh beragam orang. Pendiri negeri ini menghendaki fitrah dari Allah SWT,” tegasnya.

Gus Mus juga merespon pertanyaan mengenai virus korona. Menurutnya, virus korona harus dipahami sebagai wabah kemanusiaan dan teguran dari Allah kepada manusia.

Manusia ungkapnya, sering lupa dengan sesamanya, bahwa mereka satu nenek moyang, yakni Adam dan Hawa. “Nah kita diingatkan. Ketika kita memiliki kelompok, lalu kelompok lain kita anggap sebagai bukan jenis manusia. Peringatan ini kena pada semua. Ini wabah kemanusiaan yang mengingatkan manusia terhadap jati dirinya,” jelas Gus Mus.

Kita, lanjut penyair penerima Yap Thian Hien Award 2017 ini, virus korona merupakan isyarat Tuhan kepada manusia untuk berjarak dengan dunia ini. “Kita terlalu akrab dengan dunia ini sehingga berjarak dengan keluarga dan Tuhan kita. Kita harus atur kembali hidup kita supaya proporsional. Sekarang ini saja kita belum memahami betul tentang disiplin prokes, ogah-ogahan, merasa diri kebal. Padahal manfaat pakai masker juga untuk orang lain. Kita perlu pikirkan juga saudara-saudari kita. Ini pelajaran dari Tuhan untuk saling memperhatikan,” ungkapnya dari Pondok Pesantrennya di Rembang, Jawa Tengah.

“Kita perlu membiasakan diri dengan yang dikehendaki Tuhan atas kita. Kita rasanya sulit sekali menjauh dari dunia. Jadi pelajaran ini sangat penting untuk kita camkan bersama-sama,” ujar penulis puisi Sajak Balsem ini mengingatkan secara serius. (EDL/tD)

 

 

Related Post

Leave a Reply