Fri. Jul 26th, 2024

Yustinus Prastowo, Forum Gaudium et Spes

Yustinus Prastowo

Wabah ini datang secara tak terduga. Di saat dunia sedang bersolek untuk menyambut gemilangnya revolusi digital. Ketika manusia merasa semakin kuasa merengkuh hampir semua rahasia di bilik-bilik kehidupan, berkat kemajuan sains dan teknologi. Corona, menjadi renik yang paling ditakuti dan dipergunjingkan. Lebih dari itu, ia telah memporakporandakan banyak tatanan mapan, tak terkecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep persekutuan (ukhuwah, jamaah, koinonia) tetiba jadi begitu ganjil karena semua musti menjaga jarak aman. Ibadah dan liturgi yang selalu kolektif, komunal, dan tak jarang menjadi ajang adu jumlah jemaat, terasa sedemikian asing. Watak sosial seolah jatuh dalam paradoks: jika peduli dan menyelamatkan sesamamu, jauhilah mereka! Tentu saja tugas umat beriman pula untuk mencuri makna di balik peristiwa, guna menemukan Ia yang sungguh bersemayam dalam segala. Barangkali pula, ini saat yang tepat untuk berjarak pada seluruh ritual yang terlampau rutin, untuk sekadar menimba makna.

Ini sebenarnya daur ulang coretan lama. Saya mulai dari satu hal yang tak penting: yang bener Paskah atau Paska sih? Paska berasal dari kata Pascha (Yunani), yang sejajar dengan Passover (Inggris) dan Pesakh (Ibrani). Maka yang benar dalam penerjemahan ke bahasa Indonesia adalah “paska’ bukan “paskah”. Kemungkinan besar ini disebabkan kebiasaan orang Indonesia menambahkan ‘h’ di akhiran sebagai penyangat. Dari kelatahan ini ternyata kita bisa banyak belajar. Iseng di kala senggang, tak salah mengulik apa kaitannya dengan pemahaman kita akan Paska itu sendiri?

Coretan ini berangkat dari refleksi pasca mengikuti Misa Kamis Putih yang hambar, beberapa tahun lalu. Peristiwa Perjamuan Terakhir yang sangat sarat makna dan pesan ini jarang tersampaikan ke umat. Pendramaan iman Kristen (theo-drama dalam istilah teolog Hans Urs von Balthasar), sempurna dalam misa Kamis Putih. Bagaimana keseluruhan suasana gereja yang polos dengan tabernakel yang kosong melambangkan Gereja tanpa Yesus bukan apa-apa dan siapa-siapa lagi, pengkhianatan dan ketidaksetiaan sahabat terdekat, kesendirian yang sunyi dan mencekat, pemberian diri yang total, dan perendahan diri sebagai pemimpin-pelayan.

Dari perspektif awam, saya mencoba mengelaborasi asal usul Paska, semata karena semboyan ‘tak kenal maka tak sayang’.

Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum concillium) menegaskan perayaan atau misteri Paska (Mysterium paschale) adalah pusat iman Kristen:

Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya. Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan. (SC No.5)

Paska Kristen adalah kelanjutan dan penyempurnaan Paska Yahudi sebagaimana dicatat di Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama (Alkitab Ibrani biasa disebut Tanakh: Torah (Lima Kitab Taurat Musa), Nevi’im (Nabi-nabi), dan Ketuvim (Surat-surat atau tulisan), Paska Yahudi adalah peringatan akan pembebasan umat Israel dari perbudakan dan penindasan di Mesir. Tuhan mengangkat diri-Nya menjadi Allah bagi bangsa Israel, yang diangkat menjadi umat-Nya Kel 6:6-7). Maka dalam Seder Paska, yakni peringatan Paska hari pertama yang diperingati tiap tanggal 15 bulan Nisan, ada ritual makan dan minum (sejajar dengan tradisi deipnon dan symposion Yunani). Makan roti tanpa ragi (matza) dan minum anggur sebagai perlambang “perbudakan dan pembebasan”. Roti tanpa ragi adalah lambang penderitaan, sedangkan makan roti dengan anggur adalah simbol pembebasan.

Dalam Seder Paska Yahudi, disiapkan empat cawan anggur. Menurut tradisi Talmudist Maharlal (Moreinu Ha-Rav Loew), empat cawan ini sebagai kenangan pada empat perempuan hebat dalam sejarah Israel: Sara (istri Abraham), Rebeka (istri Ishak), Rachel dan Lea (istri Yakub). Anggur perlambang kehidupan, dan para perempuan ini adalah rahim bagi lahirnya para tokoh Israel. Sedangkan menurut tradisi Talmudist Vilna Gaon, empat cawan ini merupakan gambaran empat dimensi dunia: dunia kini, dunia mesianik, dunia saat kematian, dan akhir zaman. Menurut Arbarbanel, empat cawan ini menunjukkan empat peristiwa besar penebusan dalam sejarah Israel: terpilihnya Abraham, keluar dari Mesir, pembuangan Israel, dan kedatangan akhir zaman. Merujuk pada Keluaran, empat cawan ini mengenang empat tindakan Tuhan pada Israel: membebaskan dari kerja paksa, melepaskan dari perbudakan, menebus dengan hukuman, dan mengangkat sebagai umat (Kel 6:6-7).

Yang menarik, dalam ritual Seder ini adalah narasi yang melibatkan anak-anak, yang dibagi menjadi empat anak: anak yang bijaksana, anak nakal, anak normal, dan anak yang tidak bisa bertanya. Mereka mengajukan pertanyaan sebagai pengingat mengapa mereka memperingati Paska: makan roti tanpa ragi (matza, tanda sengsara), makan sayuran pahit (maror, tanda penderitaan), dicelup dua kali (dengan garam dan anggur), dan hanya boleh bersandar. Penerusan (traditio, dari tradere=meneruskan) ajaran turun-temurun ini yang penting, supaya ada merawat ingatan dan kenangan, pula mengabadikan makna.

Yesus adalah orang Yahudi yang taat, maka Ia mengajak 12 murid untuk merayakan Paska, dimulai dengan Seder Paska yakni ritual makan dan minum. Namun perayaan ini kemungkinan digabung dengan peringatan Ta’anit Bechorot atau puasa ‘anak sulung’. Yesus adalah anak sulung Maria dan Yusuf. Peringatan ini dilakukan untuk mengenang Tuhan yang menyelamatkan anak sulung Israel di Mesir (Kel 12:29), melalui penyembelihan domba jantan yang darahnya akan menjadi tanda umat yang diselamatkan. Maka Paska Yahudi adalah ‘passover’ atau ‘pesakh’ yang berarti Tuhan lewat, sebagaimana tertulis “Itulah korban Paska bagi Tuhan yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir, ketika Ia menulahi orang Mesir, tetapi menyelamatkan rumah kita” (Kel 12:27).

Misteri Paska Kristen bertolak dari Paska Yahudi namun sekaligus melampaui dan menyempurnakannya. Lantaran penyaliban dan kebangkitan Yesus menjadi pusat Kabar Baik yang diwartakan ke segenap penjuru dunia para rasul yang kemudian diteruskan oleh Gereja, bahwa penebusan Yesus ‘sekali untuk semua dan selamanya’ (KGK 571). Yesus adalah anak domba Allah yang dibawa ke tiang pembantaian (Yesaya 53:7). Yesus adalah penggenapan kurban Abraham yang diperintahkan Allah mempersembahkan Ishak anaknya dan digantikan oleh kurban anak domba. Ia adalah kurban (qurbana, dari kata qarib=dekat), yang mendekatkan kembali manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian Misteri Paska memiliki dua aspek. Dengan kematianNya, Yesus membebaskan manusia dari dosa, dan dengan kebangkitanNya, Ia membuka pintu bagi hidup baru dalam rahmat Allah. Misteri Paska adalah kepenuhan pewahyuan yang menjadi puncak sejarah keselamatan dan mengantisipasi pemenuhan eskatologis yang kedatanganNya kita rindukan (parousia), karena Yesus adalah roti hidup yang turun dari sorga, jikalau seorang makan dari roti ini ia akan hidup selama-lamanya (Yoh 6:51,58).

Maka bagi Gereja Katolik, liturgi (leiturgia, leitos=umat, ergos=karya) adalah umat beriman yang bersatu dan menghadirkan Misteri Paska. Ekaristi adalah ungkapan syukur karena berkat pemberian diri Yesus, umat Allah dipersatukan (communio) oleh Tubuh dan Darah Kristus, roti dan anggur yang diperingati Seder Paska Yahudi, sebagai kenangan akan pembebasan dan penebusan Allah. Melalui Perayaan Ekaristi, kita tidak sekadar mengenang tapi sekaligus menghadirkan (anamnesis), karena Ia sama ‘dahulu, sekarang, dan selamanya’. Melalui perjamuan kudus, Tuhan mengantisipasi dimensi waktu. Rasul Paulus mengingatkan bahwa “setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Karena barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal.” (I Kor 11:26-30). Lantas kita merenung: sejauh mana dan umat sadar, paham, dan menaruh hormat?

Akhirnya saya ingin mengutip keprihatinan Paus Benediktus dalam Sinode Uskup tahun 2005, di mana semakin sedikit umat beriman yang masuk ke intisari Misteri Paska atau mistagogi. Paus menekankan tiga elemen: (1) interpretasi peristiwa hidup Yesus, Misteri Paska, dan hubungannya dengan sejarah Perjanjian Lama, (2) pengenalan makna tanda dan gestur liturgi, di mana dalam era teknologi hal semacam ini semakin tersisih, dan (3) tetap mempertahankan dampak dalam segenap dimensinya, meliputi karya dan tanggung jawab, pikiran dan emosi, aktivitas dan ketenangan.

Sekelumit pemahaman historis Paska di atas hanya percik keprihatinan saya pada liturgi Katolik yang amat kaya, tapi menjadi kering dan hampa. Tentu saja pemahaman awam saya belum tentu tepat, apalagi ini pencarian otodidak. Saat ini timbul kesan perayaan liturgi sekadar ritual yang formalistik dan miskin penghayatan. Hampir tak terasakan aura kehadiran Yesus Kristus dan communio yang hangat terpusat pada ekaristi. Tanda tak membunyikan yang ditandai, simbol tak mengatakan makna apapun. Bahkan homili pun minim persiapan, tak jarang membosankan dan menambah kebingungan umat. Misa Kamis Putih misalnya,

Gereja Katolik perlu berintrospeksi, sejauh mana Kristus sungguh hadir, terutama di tengah-tengah dan di dalam sanubari anak muda. Yesus yang memenangkan hati mereka. Quo vadis katekese dan pewartaan? Tak ada salahnya kita kembali belajar pada tradisi Yahudi yang berhasil meneruskan ajaran karena penuh pemaknaan dan melibatkan anak-anak secara aktif. Pula di Gereja Orthodoks. Alexei Khomiakov, teolog Orthodoks Rusia, suatu ketika pernah berujar,”Gereja Katolik Roma sangat kaya akan harta karun namun kami yang menggali dan memanfaatkannya.” Perjamuan Tuhan dalam Gereja Orthodoks juga kaya akan simbol dan dapat dijelaskan secara lebih mudah dan memadai.

Ada baiknya kita berbagi keprihatinan dengan Paus Benediktus, termasuk Paus Fransiskus yang ingin menghadirkan Kristus di tengah dunia agar semakin banyak orang merasakan belas kasih-Nya. Namun apa yang hendak kita hadirkan jika kita semakin tak memahami siapa kita, apa tugas kita, dan ke mana kita hendak menuju? Tanpa perlu menjadi seorang konservatif dan terlalu progresif, liturgi sebagai ruang perjumpaan dan perayaan perlu dimaknai ulang agar menarik, mencerahkan, dan membebaskan. Konsili Vatikan II menyarikan dalam paradoks bernas: Gereja mencari spirit pembaruan agar selaras dengan tantangan masa kini (aggiornamento) dengan jalan kembali ke sumber asali Gereja (ressourcement). Atau dalam istilah Paus Benediktus, Gereja pasca Vatikan II adalah ‘kebaruan dalam kesinambungan’ (novelty in continuity).

Semoga ada hikmah di balik wabah. Keberjarakan fisik yang memisahkan intimitas dengan orang dan benda, kita maknai sebagai undangan Tuhan yang menyodorkan ruang perenungan. Termasuk misa online yang tak pernah terbayangkan, tetapi barangkali sangat mengena bagi kaum muda yang diasuh dan dibesarkan oleh gawai. Kita punya cukup banyak waktu luang, hingga tak ada alasan untuk tak paham. Kelak, ketika semua berlalu, kita semakin yakin menjadi pribadi yang lebih siap diutus untuk semakin mewarnai dan membangun dunia baru, demi semakin dimuliakan namaNya.

Paskah yang saya sampaikan? Walahualam.

Selamat menyambut Paska, terima kasih berkenan membaca.

Related Post

Leave a Reply