
Kita baru melepas seorang guru. Romo Prof. Dr. Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, SJ, sang begawan filsafat dari STF Driyarkara, telah berangkat dengan tenang di Jakarta pada 28 Desember. Langit intelektual kita seketika kehilangan salah satu bintang paling terang. Duka itu masih menggumpal di dada, berat dan pekat.
Sehari kemudian, datanglah kabar yang seperti tak percaya. Dr. Fransiskus Borgias, teolog dari Universitas Parahyangan, telah menyusul di Bandung. Dua kepergian dalam rentang yang begitu rapat. Dua nama “Fransiskus” yang kembali ke rumah Bapa.
Lalu kita pun bertanya, dalam hati yang pilu: apakah ini sebuah janji? Janji antara guru dan murid terkasih untuk melanjutkan perjalanan mereka bersama, menuju horizon yang tak lagi terbatas oleh kata dan waktu?
Di akhir tahun 80-an, di ruang kuliah Driyarkara, sebuah hubungan terajut. Prof. Dr. Romo FX. Mudji Sutrisno, SJ biasa dipanggil Romo Mudji saja, sang guru, dengan ketajaman pikir dan keluasan budayanya, membuka cakrawala. Di hadapannya duduk Frans Borgias, sang murid, menyerap bukan hanya ilmu, tetapi sebuah cara hidup yang mempertanyakan. Dari situlah benih persahabatan tumbuh, mengakar kuat melampaui status formal dosen dan mahasiswa. Mereka adalah dua pembelajar sejati yang diikat oleh satu tali: kerinduan akan kebenaran yang utuh.
Mereka berjalan di dua jalur yang berbeda, namun dari sumber mata air yang sama.
Prof. Dr. Romo FX. Mudji Sutrisno, SJ adalah kekuatan yang meluap. Beliau adalah seorang imam Yesuit, filsuf, budayawan, penyair, pelukis. Pikirannya menari di antara estetika dan etika, dengan tegas menolak filsafat sebagai “silat lidah”. Baginya, filsafat adalah cinta pada kebenaran, dan kebenaran itu harus bersesuaian dengan realitas. Di tengah dunia yang sering memutarbalikkan kata, seruannya tentang “mata budi yang kritis” adalah lentera yang teguh.
Dr. Frans Borgias adalah aliran yang mendalam. Sebagai teolog dan pengajar di Unpar, dedikasinya berbuah dalam kesunyian ruang riset dan kelas. Minatnya pada teologi kontekstual membawanya menyelami budaya Manggarai. Dengan rendah hati, ia menggambarkan diri seperti “Koki Dusun”, seorang juru masak desa yang setia mengolah bahan-bahan lokal (ritus, mitos, kearifan) menjadi santapan iman yang bermakna bagi komunitasnya. Karyanya adalah karya seorang penerjemah: antara langit dan bumi, antara yang universal dan yang sangat lokal.
Kepergian mereka yang beriringan ini bukanlah akhir dari sebuah diskusi. Kita boleh membayangkan, di sisi sana, sang Guru mungkin sedang bertanya, “Nah, Frans, bagaimana hasil penelitianmu tentang ‘Burung Raksasa’ yang menjadi ‘Roh Kudus’ itu?” Dan sang Murid pun tersenyum, mungkin sedang menyiapkan “hidangan” teologis baru dari bahan-bahan surgawi.
Selamat jalan, Romo Mudji. Selamat jalan, Pak Frans. Terima kasih telah menjadi guru yang tak hanya mengisi kepala, tetapi juga menyentuh hati. Terima kasih untuk persahabatan yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tumbuh subur dalam ladang kemanusiaan. Kini, diskusi panjang kalian telah memasuki babak yang sama sekali baru, babak di mana semua pertanyaan menemukan jawabannya dalam Cahaya abadi.
Kita yang ditinggalkan hanya bisa berdoa: semoga kalian berdua, dua Fransiskus yang kami kasihi, telah bertemu kembali dalam damai sejahtera-Nya. Dan dari sana, kiranya semangat kalian terus menyirami tanah intelektual dan iman di negeri ini, agar tetap subur, kritis, dan penuh kasih. (Alfred B. Jogo Ena, Ikafite)

