
Romo Mudji Sutrisno SJ telah menuntaskan peziarahan panjangnya di dunia ini pada 28/12. Ia meninggalkan jejak yang dalam pada Gereja dan tanah air yang dicintainya dengan sepenuh hati.
Hidup imamat baginya bukan sekadar panggilan, melainkan penyerahan total—sebuah fiat yang dijalani dengan kesetiaan sunyi, ketekunan intelektual, dan kasih yang tak pernah berhenti mengalir.
Kecintaannya kepada Gereja terwujud dalam kesungguhan melayani umat, membangun daya pikir yang kritis, serta menumbuhkan iman yang berakar dan dewasa.
Gereja ia hayati sebagai tubuh yang hidup—tempat iman bertemu akal budi, dan kasih menjelma dalam tanggung jawab.
Dalam setiap langkah, Romo Mudji memandang Gereja bukan sebagai menara gading, melainkan sebagai rumah bersama yang harus terus disapa dengan kebijaksanaan dan kerendahan hati.
Keahliannya di bidang filsafat memberinya kejernihan berpikir dan kedalaman refleksi.
Ia mengajak banyak orang untuk tidak takut bertanya, menggali makna, dan berdialog dengan zaman. Namun filsafat dalam dirinya tidak pernah kering; ia menemukan nadinya dalam sastra.
Melalui kata, metafora, dan keheningan makna, Romo Mudji mengalirkan cinta—kepada Gereja yang ia layani dan kepada tanah air yang ia kasihi.
Baginya, cinta pada tanah air adalah bagian dari iman yang membumi. Ia merawat Indonesia dengan pikiran yang jernih, bahasa yang bernas, dan sikap yang penuh hormat pada kemanusiaan.
Di persimpangan iman, budaya, dan kebangsaan, Romo Mudji berdiri sebagai penjaga nurani: mengingatkan bahwa Gereja dipanggil untuk mencintai bangsa ini dengan setia dan kritis sekaligus.
Kini Romo Mudji beristirahat dalam damai. Warisannya hidup dalam pikiran yang tercerahkan, iman yang diperdalam, dan kata-kata yang terus bergaung.
Gereja dan tanah air kehilangan seorang pelayan yang lembut dan teguh—namun cinta yang ia alirkan akan terus menemukan jalannya. (tD)

