
Mardiana Wada Mali, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik Universitas Katolik Weetebula
Saya anak ke-7 dari 10 bersaudara yang lahir dari keluarga sederhana dan berkekurangan. Kami hidup dalam banyak keterbatasan secara ekonomi.
Saya menduga kuat, oleh karena situasi ekonomi semacam itulah, kami mengalami penganiayaan, penghinan, direndahkan, dan diabaikan. Sungguh! Sakit rasanya.
Satu kalimat paling menyakitkan yang saya dengar langsung pada tahun 2022 itu, “Kalau sudah miskin dan tidak mampu, jangan melahirkan banyak anak.” Ucapan itu masih tersimpan rapi dalam hati saya.
Dalam situasi tersebut, perasaan saya campur aduk: sedih, marah, malu dan merasa tidak berharga.
Saya bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa Tuhan seolah-olah tidak adil? Mengapa Tuhan membiarkan orang tua saya dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar kami? Di manakah kasih persaudaraan?
Namun, dalam penderitaan itu, saya mulai merasakan kehadiran Tuhan secara perlahan melalui kakak saya sendiri. Ia yang baru lulus SMA memilih merantau ke luar negeri sebagai pekerja migran dan menyelamatkan orang tua kami.
Dari hasil kerjanya, dia mengirim uang untuk membayar utang, dan membuka sedikit ruang harapan bagi kami yang tinggal di rumah. Dalam situasi itulah, saya mulai memahami bahwa penderitaan bukan akhir dari segalanya, tetapi justru menjadi tempat untuk mengalami kehadiran Allah secara nyata.

Spes Non Confundit
Ketika membaca surat Paus Fransiskus yang berjudul “Pengharapan Tidak Mengecewakan” (Spes Non Confundit), saya merasa dikuatkan dan diteguhkan. Surat Paus Fransiskus ini ditulis dalam rangka Tahun Yubileum 2025, dengan tema “Peziarah Pengharapan.”
Pernyataan Paus Fransiskus yang paling menarik bagi saya adalah bahwa pengharapan itu tidak mengecewakan. Mengapa tidak mengecewakan karena menawarkan kepastian kasih Allah.
Paus Fransiskus dalam Bulla ”Spes Non Confundit” tersebut menegaskan bahwa Tahun Yubileum adalah tahun kudus dan penuh rahmat, di mana orang-orang akan kembali kepada Allah dan memperbarui relasinya dengan sesama.
Apa yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus menginsprasi dan memampukan saya untuk melihat makna positif dari pengalaman yang sungguh menyakitkan itu.
Makna posistif yang saya ambil dari situasi sulit pada saat itu adalah kemampuan untuk bertahan dan menatap hidup dengan cara yang baru.
Buah Roh Kudus
Kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan adalah salah satu buah Roh Kudus yang selalu menopang manusia, termasuk saya sendiri.
Harapan ini bukan datang dari diri sendiri melainkan datang dari Allah. Ketika semua pintu tertutup, kasih Tuhan menolong kami seperti pernyataan Rasul Paulus: “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu, menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Rm 5:3-4).
Apa yang diungkapkan oleh Rasul Paulus benar-benar nyata dalam hidup saya, yaitu bahwa dari pengalaman penderitaan dan kesulitan, Tuhan menumbuhkan ketekunan untuk bertahan dan berharap akan kasih-Nya.
Saya mengalami dan menyaksikan semua kejadian atau perlakuan tersebut karena saya lahir dalam keluarga yang sederhana dan mengalami kesulitan secara ekonomi.
Saya tidak memilih untuk hadir dalam situasi seperti itu, tetapi saya menerimanya sebagai bagian dari hidup saya. Saya sadar bahwa kami tidak sendiri. Banyak orang di luar sana termasuk Ketua OMK dan guru agama mengalami hal yang sama, yaitu penghinaan karena keterbatasan secara ekonomi.
Saya bercerita dengan mereka dan umpan balik yang saya dapatkan adalah penguatan untuk bertahan dalam penderitaan.
Inspirasi Bunda Maria
Salah satu figur yang paling menginspirasi saya adalah Bunda Maria. Dia adalah teladan yang paling kuat bagi saya dalam menghadapi penderitaan.
Bunda Allah adalah saksi paling mulia harapan yang tidak mengecewakan. Saat ia berdiri di kaki salib Yesus, ia tetap setia dan tidak lari dari penderitaan. Seperti yang dikatakan oleh Simeon “suatu pedang akan menebus jiwamu sendiri’ (Luk 2:34–35).
Di kaki salib, dia menyaksikan penderitaan dan kematian Yesus, Putranya yang tidak bersalah. Walaupun diliputi oleh kesedihan yang begitu mendalam, Bunda Maria tetap memperbarui “fiat”-nya. Ia tidak pernah meninggalkan harapan dan kepercayaannya kepada Tuhan.
Kini, saat Gereja universal memasuki Tahun Yubileum 2025, saya percaya bahwa pengharapan bukanlah janji kosong, melainkan daya atau kekuatan yang diberikan oleh Allah untuk tetap bertahan dalam setiap persoalan hidup.
Saya tidak lagi melihat masa lalu saya sebagai aib, melainkan sebagai tempat yang suci, tempat di mana Tuhan menyatakan karya pemulihan-Nya.
Paus Fransiskus dalam Bulla Spes Non Confundit mengingatkan bahwa wafat dan kebangkitan Kristus adalah inti pengharapan kita. Harapan itu bukan sekadar pikiran positif, tetapi didasarkan pada peristiwa nyata: Yesus yang menderita, wafat, dikuburkan dan bangkit pada hari ketiga.
Santo Paulus menulis “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, ia telah dikuburkan, dan bawa ia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga” (1Kor 15:3-5). Kebangkitan ini menjadi dasar iman saya pada saat itu, bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segalanya.
Santo Agustinus juga mengajarkan bahwa dalam situasi apa pun, manusia tidak bisa hidup tanpa iman, harapan dan kasih.
Iman, harapan dan kasih adalah kekuatan rohani yang menopang manusia baik dalam keadaan senang maupun duka.
Santo Paulus sendiri menyadari bahwa hidup penuh dengan berbagai tantangan dan penderitaan, tetapi justru dari sanalah tumbuh pengharapan yang tidak mengecewakan.
Bukan tentang Luka dan Dendam
Tahun Yubileum adalah tahun yang istimewa dan penuh rahmat bagi saya, bukan lagi tentang luka dan dendam, melainkan kesempatan untuk menjadi pribadi yang membawa terang dan harapan bagi orang lain.
Jika keluarga saya pernah dipandang rendah, biarlah kini kami belajar untuk tidak memandang rendah siapa pun.
Jika, dulu kami dibiarkan sendiri dalam penderitaan, biarlah kini kami menjadi keluarga yang hadir dalam penderitaan orang lain.
Pengharapan bukan sesuatu yang ditunggu datang begitu saja, melainkan harus diwujudkan lewat langkah nyata yang didasari keyakinan banyak Tuhan selalu menyertai.
Semoga kita yang berlindung kepada-Nya beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak di depan kita. Pengharapan itu adalah “sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita” (Ibr. 6:18–20).
Masa lalu saya memang penuh dengan luka dan penderitaan yang tidak pernah dilupakan. Namun, saya tetap berharap dan percaya akan kepastian kasih Allah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasul Paulus: “pengharapan tidak mengecewakan” (Rm 5:5).
Pengalaman kesulitan dan penderitaan yang saya alami serta refleksi saya atas kasih Allah mengantar saya, sebagai peziarah harapan, pada sebuah kesadaran dan keyakinan: “Betapa indanya kepastian kasih Allah”.*
