Belajar dari Pengalaman Gunung Tabor

Pater Yoakim Ndelo, CSsR, Dari Pulau Sumba, Indonesia Selatan

Hari Raya Penampakan atau Transfigurasi dikisahkan dalam 3 Injil Sinoptik sekaligus: Markus, Mateus dan Lukas. Ketiganya juga memperlihatkan bahwa peristiwa itu terjadi setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias. Peristiwa di Gunung Tabor itu terjadi enam hari setelah pengakuan Petrus (Mat 17:1).

Enam hari itu bisa merujuk pada Hari Raya Pondok Daun. Petrus mengakui Keilahian Yesus pada Hari Pendamaian di Kaisarea Filipi (Mat 16:13-20), dan Yesus bersama para Rasul melakukan perjalanan ke selatan selama enam hari dan mencapai Gunung Tabor.

Maka bisa dikatakan bahwa Transfigurasi terjadi pada hari terakhir Pesta Pondok Daun. Selama Pesta ini, orang-orang Israel mengenang masa nenek moyang mereka di padang pasir; mereka melakukannya dengan tinggal di tenda. Orang-orang juga menantikan zaman Mesias, ketika orang benar akan tinggal di tenda (Za 14:16).

Jadi, ketika Petrus ingin membuat tiga tenda – satu untuk Yesus, satu untuk Musa dan satu untuk Elia – dia mengakui penggenapan Hari Raya Pondok Daun: zaman Mesias telah tiba.

Hadirnya Musa dan Elia juga bermakna simbolis. Musa dan Elia mewakili tokoh-tokoh Perjanjian Lama; Musa dalam Kitab Pentateukh dan kitab Sejarah; Elia dalam kitab Nabi-Nabi.

Keduanya juga pernah berjumpa secara langsung dengan Yahweh dalam kemuliaan-Nya. Hadirnya mereka menunjukkan keberlangsungan sejarah keselamatan dari zaman Musa, Elia sampai dengan Yesus.

Yang sering menjadi pertanyaan adalah, apa tujuan perjumpaan kedua orang ini dengan Yesus atau apa yang dibicarakan?

Tujuan utama mereka terkait dengan peristiwa yang akan dihadapi oleh Yesus dalam waktu dekat. Dia akan ke Yerusalem dan akan menerima nasib-Nya di tangan bangsa Yahudi: sebagai Mesias yang menderita dan wafat.

Musa dan Elia datang untuk memberi peneguhan kepada Yesus sekaligus menunjukkan bahwa Yerusalem adalah jalan menuju kemuliaan. Yerusalem dan bangsa yang akan mengadili dan membunuh dia adalah batu loncatan kepada keagungan.

Tentu saja ini tidak akan membuat semuanya jadi lebih mudah. Tetapi tahu bahwa semua derita akan berakhir dengan kebahagiaan akan memberikan kekuatan ekstra untuk memikul salib. Tahu bahwa sengsara yang tak terkira ini merupakan jalan menuju sukacita abadi akan memberikan ketenangan batin saat menerima setiap cambukan dan penghinaan.

Dalam hidup kita membutuhkan “pengalaman Gunung Tabor”, semacam preview (pra-pertunjukan) akan apa yang menantikan kita.

Pengalaman Yesus dan ketiga murid juga adalah pengalaman kita juga.  Ketika kita tahu bahwa akhir dari semua perjalanan kita, entah dalam suka atau duka, kita akan menjalani hidup ini dengan bebas dan tenang, tanpa kekuatiran dan kecemasan.

Seorang pria tua berusia 75 tahun hendak mendaki sebuah puncak gunung yang cukup tinggi untuk orang seusianya. Seorang pemuda yang juga hendak mendaki, merasa heran lalu bertanya kepadanya: “Maaf, Pak. Bukannya menghina, tapi bagaimana bapak yakin bisa mencapai puncak gunung dengan usia dan fisik seperti ini?” Pria tua itu menjawab, “Hatiku sudah tiba di puncak gunung itu. Aku hanya perlu membawa tubuhku yang renta ini”.

Ya, jika hati sudah berjumpa dengan kemuliaan, maka tubuh hanya perlu berdamai dengan sengsara dan semuanya bakal terlewati.

Dalam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula Sumba, NTT