Lebih Dalam Memaknai Hospitalitas

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Dari Pulau Sumba, Indonesia Selatan

Seorang anak muda bernama Howard Kelly, pencinta alam, sedang berjalan di sebuah desa pertanian di daerah Pennsylvania Utara, Amerika Serikat. Dia tiba di sebuah rumah seorang petani dan hendak meminta air minum. Dia mengetuk pintu dan seorang gadis kecil keluar. Dia lalu memint air minum. Tak lama kemudian gadis itu justru membawakan dia satu gelas besar susu segar. Pemuda itu sangat terkesan. Setelah berterimakasih dengan tulus dia melanjutkan perjalanannya.

Tahun-tahun berlalu, pemuda ini lalu menjadi seorang dokter. Bahkan dia menjadi dokter terkenal yang turut mendirikan John Hopskins, sebuah lembaga penelitian medis pertama di Amerika Serikat dan sangat terkenal sampai sekarang.

Suatu hari gadis kecil tadi yang sudah menjadi dewasa menderita penyakit berat dan datang untuk operasi di rumah sakit tempat Dr. Kelly berdinas. Setelah operasi selesai dan gadis itu mau pulang, dia membayangkan dengan ketakutan tagihan biaya rumah sakit yang mahal. Dengan hati-hati dan cemas dia membuka amplop tagihan itu. Betapa terkejut dan tak percaya, di nota tagihan tertulis tangan: “Semua sudah dibayar dengan satu gelas susu segar!!!”. Dokter Kelly tak pernah melupakan kebaikan gadis kecil ini.

Tentang Hospitalitas

Injil hari ini merupakan bagian akhir dari seluruh khotbah Yesus di Bukit (Mat 5-10). Bagian akhir ini berbicara tentang dua hal: Apa yang diharapkan dari para murid dan apa yang diharapkan dari orang lain untuk para murid Yesus. Kata kunci dari ini semua adalah “Hospitalitas”.

Para murid dituntut untuk memiliki loyalitas terhadap Allah di atas segalanya: “Barangsiapa mengasihi Bapa atau Ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”. (Mat 10:37).

Di sini Yesus tidak menyerang hubungan atau relasi hidup sebagai keluarga. Kata-kata Yesus perlu dipahami dalam konteks tugas perutusan. Yesus justru mengantisipasi atau mengingatkan bahwa bisa saja terjadi salah paham sebagai pewarta dalam tugas kenabian.

Dalam banyak kasus para nabi justru ditolak oleh lingkungan keluarganya. “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” (Mat 13:57).

Ketika “conflict of interest” ini muncul, seorang murid atau pewarta atau nabi sudah tahu kepada siapa dia meletakkan segala prioritasnya, yakni Allah sendiri.

Kata-kata Yesus ini juga bisa dipahami dalam arti lain, yakni bahwa sekarang keluarga baru didirikan oleh Allah, bukan lagi atas dasar hubungan darah melainkan hubungan kasih satu sama lain. Dalam arti inilah Hospitalitas mendapatkan perwujudannya.

Hospitalitas bisa diartikan macam-macam. Salah satunya sebagai keramahan. Keramahan ini terkait sikap penerimaan terhadap orang lain. Menerima bisa berarti menyapa dengan senyuman tulus, mengundang ke dalam rumah bahkan memberi tumpangan. Penerimaan ini didasari keyakinan bahwa di dalam setiap pribadi Tuhan sendiri hadir. Bahwa tidak ada orang asing atau orang lain; bahwa setiap pribadi adalah keluarga atau saudara.

Hospitalitas bisa juga berarti murah hati atau kerelaan untuk memberi atau berbagi. Pemberian bisa dalam rupa harta atau barang tetapi lebih dari itu adalah pemberian diri.

Sama-sama Bernilai

Semua bentuk pemberian yang tulus harus selalu disertai respect kepada penerima. Mereka bukanlah obyek karitatif melainkan subyek karena mereka sama bernilainya dengan mereka yang memberi. Dalam diri orang yang memberi ada kehangatan kasih Allah. Dalam diri orang yang menerima ada jejak citra diri Allah juga.

Maka hospitalitas lalu mempunyai nilai universal kemanusiaan yang melampaui segala sekat, baik agama maupun bangsa, baik warna kulit maupun ras. Hospitalitas adalah sebuah nilai yang datang dari Allah sendiri, Pencipta segala yang ada, terutama umat manusia.

Seorang petani datang ke kota dan pertama kali menginap di hotel. Dia bertanya kepada resepsionis tentang waktu makan. Resepsionis menjawab; “Makan pagi dari jam 7 sampai jam 11, makan siang dari jam 12 sampai jam 3, makan malam dari jam 6 sampai jam 8. Petani itu sangat kaget dan heran: “Lalu kapan waktunya saya bisa lihat-lihat kota kalau semua dipakai untuk makan?”.

Salam dan berkat dari Konventu Redemptoris-Biara Santo Alfonsus, Weetebula, Sumba