Fri. Dec 6th, 2024

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, dari Pulau Sumba

Pada zaman Yesus, Hukum Taurat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok orang Yahudi.

Ada yang mengatakan bahwa inti Taurat adalah Sepuluh Perintah Allah.

Yang lain mengatakan, Pentateukh atau kelima kitab yang ditulis oleh Musa: Kejadian, Keluaran, Ulangan, Imamat dan Bilangan.

Yang lain lagi mengatakan, seluruh Hukum Musa ditambah Kitab para Nabi. Sebagian lagi menyebut Hukum tertulis dan Hukum lisan.

Meski demikian, orang-orang Yahudi sama-sama percaya bahwa Taurat (Hukum yang diberikan melalui Musa), adalah wahyu Allah yang abadi dan tidak dapat diubah.

Yesus, dan kemudian Paulus, tidak mempersoalkan Hukum tertulis.

Yang jadi soal adalah hukum lisan yang sesungguhnya merupakan tafsiran oleh ahli-ahli Taurat.

Yesus menaruh hormat pada Hukum Musa dan ajaran para nabi tapi mengkritik hukum lisan yang membebani orang-orang Yahudi pada umumnya.

“Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya”.

Yang dimaksud Yesus disini adalah Hukum Musa dan para nabi. Bagi-Nya itu adalah Firman Allah yang memiliki otoritas ilahi dan patut dihormati sepenuhnya.

Bagi para Ahli Taurat dan orang Farisi, pemenuhan secara lahiriah dari ajaran Hukum Musa merupakan jaminan keselamatan seseorang. Yesus menolak pandangan ini.

Yang utama bagi Yesus adalah makna batiniah dari setiap ajaran itu.

Orang bisa saja bersumpah dengan mulutnya tapi jika hatinya tidak terlibat sepenuhnya maka sumpah itu sia-sia

Orang bisa saja tidak membunuh saudaranya tetapi jika dia menghina saudaranya, itu juga termasuk dosa berat.

Secara fisik orang tidak berzinah tetapi pikirannya bisa melakukan hal itu.

Dalam mematuhi Hukum Tuhan, kita wajib menghargai prinsip-prinsip dasarnya.

Prinsip dasar pertama adalah menghormati dan menghargai.

Dalam empat hukum pertama dari Sepuluh Perintah Allah kita diminta untuk menghormati Tuhan, Nama-Nya yang kudus dan Hari-Nya yang kudus serta menghormati ayah dan ibu kita.

Enam perintah berikutnya memerintahkan kita untuk menghargai kehidupan, integritas pribadi dan nama baik seseorang, sistem hukum, properti orang lain, dan pasangan orang lain.

Prinsip dasar kedua adalah memaafkan dan melupajan.

Kita perlu memaafkan, melupakan, dan bergerak menuju rekonsiliasi sesegera mungkin.

Pengendalian diri akan memberi ruang pada Roh Kudus untuk bekerja sehingga kita melihat persoalan melalui mata Tuhan.

Prinsip dasar ketiga adalah jujur ​​kepada Tuhan, jujur kepada diri kita sendiri serta jujur kepada orang lain.

Dengan prinsip-prinsip ini kita membiarkan Sabda kebenaran Tuhan menembus pikiran dan hati kita dan membentuk hati nurani kita, menjadikan kita orang-orang yang berintegritas.

***
Joni kecil bertengkar dengan adik laki-lakinya, Willy.

Sebelum dia mengucapkan doa malamnya, ibu Joni berkata kepadanya, “Sekarang aku ingin kamu memaafkan adikmu.”

Tapi Joni sedang tidak ingin memaafkan. “Tidak, aku tidak akan memaafkannya”, katanya.

Ibu mencoba membujuknya dengan macam-macam rayuan seorang ibu, tetapi tidak ada yang berhasil.

Akhirnya, dia berkata, “Bagaimana jika adikmu meninggal malam ini? Bagaimana perasaanmu jika engkau tahu bahwa engkau belum memaafkannya? Joni akhirnya menyerah tapi nampak terpaksa.

“Baiklah, aku memaafkannya”, katanya. “Tetapi jika dia masih hidup di pagi hari, saya akan tetap membalasnya.”

Kemarahan bisa membuat kita menjadi anak kecil.

Salam dari Biara Novena Maria Bunda Selalu Menolong (MBSM), Kalembu Ngaa Bongga (KNB), Weetebula, Sumba, Indonesia Selatan.

Related Post