Sat. Jul 27th, 2024
Selamat pagi, Yesus

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Pater Kimy Ndelo, CSsR

Di atas Bukit Golgota sesungguhnya ada 3 salib yang berdiri. Dua salib di sisi kiri dan kanan adalah dua orang penjahat yang merampok dan membunuh. Di tengah-tengah ada salib Yesus yang mati demi dosa kita.

Perampok tersalib yang pertama di sisi kiri mengolok-olok Yesus dan mati dalam dosanya. Perampok tersalib yang kedua di sisi kanan (dalam tradisi dikenal dengan nama Dismas), mati karena dosa, tetapi karena percaya pada Yesus, dia mendapat janji pasti: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43).

Penjahat “baik”, Dismas, tidak perlu mengakui semua dosanya, tetap Yesus mengampuni dia sekali untuk semua. Sebuah ungkapan iman yang total di saat-saat paling menentukan dalam hidup, sudah cukup untuk menyelamatkan jiwanya.

Setiap momen hidup bisa menjadi momen keselamatan jika kita datang pada orang yang tepat, yakni Yesus sendiri. Untuk Yesus semua waktu selalu tepat.

ZHENA!

Di atas salib Yesus berseru: Zhena! Artinya “Aku haus!” Seruan Yesus ini mengingatkan kita akan kata-kata Mazmur: “Tenggorokanku kering seperti debu, lidahku melekat pada langit-langit mulutku” (Maz 22:16). Ketika Yesus sedang menuju proses kematian-Nya, Dia menderita kehausan yang amat menyakitkan.

Mati di atas salib adalah salah satu bentuk penderitaan paling menyakitkan bagi manusia. Tetesan darah dari sekujur tubuh mengakibatkan rasa haus tak terkira. Menderita kehausan adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Tak ada kata-kata yang cukup untuk melukiskannya.

Seluruh tubuh berteriak minta air. Air untuk membasahi mulut yang kering, air untuk membebaskan lidah yang bengkak, air untuk membuka tenggorokan yang serak yang tidak dapat menghirup udara yang cukup, air untuk membuat bertahan hidup hanya beberapa saat lagi.

Pemazmur berdoa: “Ya Allah, Engkaulah Allahku — aku merindukan-Mu! Untukmu tubuhku merindukan; untukmu jiwaku haus, seperti tanah yang gersang, tak bernyawa, dan tanpa air.” (Maz 63:2).

Kehausan Yesus bukan terutama karena butuh air, tapi kehausan akan jiwa-jiwa untuk dibawa kepada Allah. Dia haus akan mereka yang perlu diselamatkan. Di sini juga Dia mewakili banyak orang yang sesungguhnya haus akan berbagai hal yang perlu untuk hidup mereka termasuk air.

Dahaga Yesus saat ini hanya bisa dipuaskan oleh kita-kita yang menjadi sahabat-Nya, murid-murid-Nya dan rekan sekerja-Nya.

TETELESTAI

Seruan Yesus yang terakhir adalah, Tetelestai. Biasa diterjemahkan, “sudah selesai”. Apa sesungguhnya yang sudah selesai? Penderitaan? Tugas pewartaan? Perjalanan hidup? Mungkin semua itu termasuk di situ.

Akan tetapi ungkapan tetelestai lebih dari itu. Dalam salah satu hasil penemuan arkeologis di Yerusalem, pada laporan pajak seseorang ditemukan tulisan: tetelestai. Itu artinya sudah dibayar lunas.

Dalam arti inilah kata-kata Yesus bisa dipahami. Manusia yang berdosa adalah orang-orang yang berutang kepada Allah. Utang itu sudah dibayar lunas. Ungkapan Yesus ini lalu menjadi seruan kemenangan, keberhasilan. Sudah selesai artinya sudah lunas. Utang sudah dibayar utuh. Manusia tidak berutang apa-apa lagi kepada Tuhan.

Seruan Yesus bagaikan seorang pelari yang setelah melewati perjuangan panjang mencapai garis finish pertama. Bagaikan seorang mahasiswa yang mencapai titik terakhir studinya dengan wisuda. Bagaikan seorang pelukis yang menyelesaikan sebuah karya agung (master piece) setelah proses yang panjang.

Ucapan Yesus adalah seruan seorang Raja di atas tahta-Nya, yakni salib di Puncak Golgota.

Di penjara Auschwitz, Polandia pada Pebruari 1941, para tahanan tentara Nazi Jerman, sedang diantri untuk dihukum mati dengan gas. Kebanyakan dari mereka orang Yahudi. Seorang pria bernama Frandishek Gazovnachek, ikut dipanggil. Tiba-tiba dia berseru, “Tolong bebaskan saya. Saya mempunyai istri dan anak-anak.” Seruannya begitu memilukan.

Spontan Maximilian Maria Kolbe, seorang Imam Fransiskan maju ke depan dan mengambil alih tempat pria itu. Dia menggantikannya menerima hukuman mati.

Singkat cerita, setelah perang berakhir, pria itu selamat dan kembali ke rumah bersama istri dan anak-anaknya. Di samping rumahnya ada tulisan yang dipahat dengan indah: Kenangan Akan Maximilian Kolbe. Dia mati menggantikanku!

Dia hidup sampai usia 82 tahun, dengan terus membawa kenangan: Aku hidup karena seorang mati untuk aku.

Di dalam hati setiap orang beriman hendaknya tertera pula sebuah tulisan: Kenangan akan Yesus Kristus. Dia mati menggantikan tempatku.

Tetelestai.

Salam hangat dari Biara Novena Maria “Madre del Perpetuo Soccorso” (MPS), Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula Sumba “tanpa wa”.

Related Post