Sat. Jul 27th, 2024

Di Hadapan Yesus, Badai Hidup Tak Berarti Apa-apa

Pater Yoakim R. Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Oleh Pater Yoakim R. Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris Provinsi Indonesia

Tiga sahabat, yakni seorang Pastor, seorang Pendeta dan seorang Rabbi Yahudi sedang duduk menikmati indahnya pantai di musim panas. Rabbi tersebut belum lama mengenal kedua temannya.

Setelah berbincang-bincang, Pastor itu bangun lalu berjalan di atas air menuju perahu yang jaraknya 200 meter. Tak lama Pendeta juga berjalan pada arah sama. Mereka tiba dengan selamat di atas perahu.

Rabbi Yahudi yang kaget melihat dua temannya berjalan di atas air, tergoda juga untuk menunjukkan imannya. Mungkin juga tidak mau kalah. Baru beberapa langkah dia sudah tenggelam di dalam air.

Pastor itu menatap Pendeta sambil berkata, “Pasti kamu tidak beritahu dia dimana saja letak karang yang kita pijak sampai ke sini”.

Yesus berjalan di atas air dalam angin badai (Mat 14 22-33), tentu bukan di atas karang yang tak terlihat dalam air. Kisah ini menegaskan tentang pribadi Yesus sebagai Yang Ilahi dengan kemampuan yang tak terbatas, dan yang selalu hadir dalam hidup para muridNya, terutama dalam saat sulit. Dalam konteks ini Petrus hadir sebagai pribadi istimewa di hadapan Yesus.

Petrus menunjukkan kepercayaan, keberanian, sekaligus ketakutan dalam waktu yang sangat berdekatan. Petrus percaya bahwa yang berjalan di atas air itu adalah Yesus Sang Guru sekaligus Tuhan. Karena itu dia mengambil langkah pertama mendatangi Yesus dalam cara yang hampir mustahil: berjalan di atas air seperti Yesus. Dia berani mengambil risiko karena percaya. Itulah hakikat iman sejati.

Awalnya dia fokus, tapi kemudian kehilangan fokus kepada Yesus karena perhatiannya tertarik oleh deru gelombang di sekitarnya. Itulah yang membuatnya nyaris tenggelam.

Petrus mewakili orang-orang yang percaya bahwa Yesus adalah Penyelamat; mengambil langkah pertama dengan keyakinan bahwa Yesus bisa menopang dia. Tetapi kemudian lupa untuk fokus kepada Yesus ketika berhadapan atau berada dalam badai pencobaan.

Situasi macam ini ada pada siapa saja. Berapi-api atau bersemangat ketika pertama kali mengenal Yesus, tapi kemudian kehilangan fokus karena tertarik oleh banyak hal lainnya.

Tapi yang penting bagi Yesus adalah kesadaran diri dalam situasi krisis. Hanya perlu berseru seperti Petrus, “Tuhan, tolonglah aku!”, dan Yesus datang menolong. Yesus akan datang berkata dengan lembut: “Tenanglah, Aku ini. Jangan takut.”

Inilah paradoksnya hidup beriman kristiani. Badai hidup dapat menjadi sarana rahmat Allah. Ketika kejadian buruk terjadi dalam hidup kita, justru kita makin dekat dengan Tuhan. Hati yang berkeping-keping justru menjadi pintu masuk bagi Tuhan dalam hidup kita.

Ketika kita berseru dalam doa dan Tuhan sepertinya tidak mendengar atau menjawab kita, mungkin saja Dia menjawab dengan berbisik. Kita hanya perlu lebih dekat dan dekat lagi kepada-Nya supaya bisa mendengarnya.

Badai selalu ada dalam hidup kita. Tapi Kristus juga selalu ada di dekat kita. Yesus selalu hadir dan siap menolong kita. Kita tak perlu membatasi di mana Dia hadir dan dalam wujud apa Dia hadir.

Sikap kita adalah selalu fokus kepadaNya, dan dalam saat krisis kita berseru, “Tuhan, tolonglah aku!” Di hadapan Yesus, badai hidup tak berarti apa-apa.

Salam hangat dan salam sehat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu, Weetebula, Sumba tanpa Wa).

Related Post

Leave a Reply